Fakta bahwa masyarakat tidak bisa hidup sendiri adalah
sesuatu yang jelas-jelas sudah disepakati kiranya oleh seluruh mahluk yang ada
dibumi. Namun, kita juga tak bisa menghiraukan fakta bahwa manusia hidup untuk bermobilitas.
Manusia tak bisa diam berlumut seperti batu. Manusia selalu bergerak untuk
kemudian memutar roda kehidupannya ke tingkat yang lebih baik.
Satu transportasi yang sangat diminati oleh masyarakat dari
berbagai kelas adalah kereta api. Satu-satunya transportasi yang mempunyai
lagu, transportasi kedua yang selalu dilihat oleh anak kecil ketika
berjalan-jalan keluar rumah. Selain melihat pesawat terbang, anak kecil juga
tertarik dengan kereta api. Kemudian, mereka bernyanyi ‘naik kereta api tut-tut-tuuuut’
ketika sang kereta lewat.
Untuk seseorang yang lahir di tahun 90-an, saya pikir
generasi ini bisa menjadi saksi betapa eksisnya kereta api di masyarakat. Pula
menjadi saksi dari berbagai perubahan yang terjadi dari kereta api.
Begitulah teori evolusi bekerja. Jelas memakan banyak waktu.
Tapi menyaksikan tahapan demi tahapan, perkembangan demi perkembangan, dan
perubahan demi perubahan dari kereta api sendiri sangat sarat makna. Bagaimana
murahnya tarif, bagaimana sesaknya gerbong, ratusan bahkan ribuan orang
tersendat dalam satu lokomotif hingga atapnya pun tak lupa untuk dijajaki.
Penjagaan yang kurang ketat. Calo dimana-mana. Pedagang berseru disana-sini.
Pengamen bergantian menjual suaranya lewat speaker butut yang jelas-jelas hanya
seadanya.
Dulu, masih ingat juga ketika orang tak berkaki menyapu
sampah di tiap kolong kursi. Mengisyaratkan dengan tangannya kalau ia belum
makan. Membalikan telapak tangannya, menyimpan harga dirinya dibawah uang
ratusan perak saja.
Musim tentu saja berganti.
Dari hujan kemudian kemarau. Terus berulang sampai semua
orang, semua aturan yang ada telah hilang dan berubah. Saat itu, semuanya
dimulai dengan munculnya sosok “Baraya Geulis”. 7000 rupiah untuk tiket kereta
api lokal. Hype! Orang silih berganti
mencoba bagaimana rasanya Baraya Geulis itu. Seinga saya, yang khas adalah
kursi plastik dan warna hijaunya.
Kembali, perubahan terus berlangung, Baraya Geulis kemudian
hilang entah mengapa? Semua suara gaduh, riuh pedagang yang menawarkan
barangnya menjadi sunyi. Senyap tergantikan oleh alunan lagu yang keluar dari
setiap speaker di tiap atap gerbong. Begitulah kereta api yang sekarang.
Sekarang, mari kita lihat semuanya dari stasiun yang kecil…
Banyak hal yang sudah berubah. Menjadi lebih terorder,
menjadi lebih kompleks, dan menjadi lebih mahal. Problemnya mungkin hanya
perubahan jadwal yah terlalu sering, dan naiknya harga tiket. Ketika semuanya
dimulai dengan 1000 rupiah, kemudian 1500 rupiah, 2500 rupiah, 4000 rupiah,
hingga sampai di tarif 5000 rupiah perkepala untuk perjalanan dari
Cicalengka-Bandung ataupun sebaliknya.
Para pedagang yang sudah memegang tiket kereta api dari
pukul 6 pagi, para pelajar, mahasiswa, begitu juga para pegawai, siap beradu
kecepatan untuk mendapatkan kursi di dalam gerbong kereta. Realitas yang saya
lihat setiap harinya, membuat saya kemudian bertanya, sampai kapan hal ini akan
terjadi? Seandainya kereta api yang di operasikan lebih banyak, setidaknya satu
jam satu kereta, mungkin orang tak akan seberdesakan ini berada dalam satu gerbong.
Muak juga rasanya melihat bapak-bapak yang duduk santai ttanpa mengedepankan
empatinya. Nenek-nenek kadang lebih banyak yang berdiri ketimbang mereka para
bapak.
Namun, banyak terjadi hal lucu dimana para pedagang, atau
buruh bangunan dengan santai duduk di lantai garbong. Berkerumun kemudian
bercanda ria hingga mereka sampai di stasiun yang mereka tuju. Bagaimanapun
juga kelas sosial akan selalu ada bahkan di dalam kereta api.
Ada hal lain yang cukup menarik perhatian saya untuk
bertanya. Bagaimana kalau kita mulai berbicara tetang berubahan baru dari
kereta api lewat hal-hal kecil seperti pintu otomatis? Pintu memang terlihat
sederhana dan mungkin tidak terlalu oenting, tapi percayalah pintu otomatis
akan sangat membantu. Tidak semua petugas kereta api berada disana untuk
membukakan pintu, terkadang pula orang hanya celingukan di depan pintu. Jadi,
marilah kita membuat perubahan dari pintu otomatis, kemudian toilet, dan yang
terakhir adalah pintu perlintasan kereta api di desa-desa.
Kita juga tahu, ketika naik kereta api, jalan yang dilalui
pastilah pedesaan. Banyak persawahan, perkebunan, dan hal lain yang berbau
desa. Jalan kecil yang dilalui warga beberapa masih belum mempunyai pintu
perlintasan kereta api. Bukankah itu sedikit berbahaya?
Nah, diluar dari itu saya pikir kereta api sekarang sudah
lebih baik. Saya senang dengan fakta bahwa tiket penumpang benar-benar di cek
terlebih dahulu sebelum memasuki area tunggu. Ah iya! Bagaimana dengan
menyediakan jam dinding di setiap gerbong? Sepertinya itu juga akan sangat
membantu.
Terakhir…
Terimakasih Kereta Api Indonesia karena telah mempermudah
mobilitas masyarakat kita. Dengan harga yang bisa dibilang paling murah
daripada transportasi umum lain. Dan jalur ‘sendiri’ nya yang sering kali
menjadi keuntungan ketika jalan raya sedang banjir –asal tahu saja, ketika
musih hujan, kemudian banjir, kereta api lokal sangat diminati oleh masyarakat
karena dipercaya bisa benar-benar menyampaikan menumpang ke tempat tujuan— saya
adalah seseorang yang setiap hari bermobilitas dari Cicalengka ke kota Bandung.
Setiap harinya ketika musim hujan, Rancaekek akan selalu banjir. Dan banyak
dari orang-orang seperti saya kemudian beralih dari menaiki kobutri, menjadi
kereta api.
2019, 2020, ataupun 2000 selanjutnya, sepertinya akan ada
perubahan yang cukup signifikan lagi dari kereta api kita ini. Saya tidak sabar
untuk menunggu. Maju terus kereta api Indonesia! Tak usah lah melihat kereta api di Jepang seperti ini, di Korea seperti itu,
mari kita ciptakan ciri khas tersendiri dari kereta api Indonesia karena yang
menggunakan kereta api itu sendiri juga bukan orang lain, tapi keluarga kita,
masyarakat Indonesia.
Cr gambar: Galena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar